
LewatLensa.com – Jazz kembali merasuk ke denyut kota Solo. Di halaman megah Pamedan Pura Mangkunegaran, musik, cahaya, dan semangat kebersamaan berpadu dalam gelaran Solo City Jazz ke-13. Digelar pada akhir pekan, Sabtu 27 September 2025, dimulai sejak pukul 16.00 WIB hingga larut malam, festival ini bukan sekadar pertunjukan musik, melainkan sebuah perayaan rasa—antara nostalgia, inovasi, dan cinta pada jazz yang terus tumbuh di Kota Bengawan.
Bagi penyelenggara, jazz bukan hanya musik, tapi bahasa harmoni yang mempercantik wajah Solo. Wenny Purwanti, CEO C-Pro yang sejak 2009 konsisten menginisiasi acara ini, menyebut Solo City Jazz sebagai upaya menjadikan kota lebih “jazzy”. Jazzy, dalam tafsirnya, bisa berarti mempesona, adem, menyenangkan—suatu suasana yang membuat orang betah berada di Solo.
Gelaran ini bukan tanpa tantangan. Pernah terhenti akibat erupsi Merapi dan pandemi Covid-19, Solo City Jazz kini kembali hidup berkat dukungan Pemerintah Kota Solo dan sejumlah sponsor. Kehadiran mereka memungkinkan ribuan penikmat musik menikmati malam yang syahdu, sekaligus membuktikan betapa jazz dan Solo adalah kombinasi yang semakin erat.

Saat mentari mulai condong ke barat dan udara menjadi bersahabat, panggung dibuka oleh UTARA, band asal Solo yang sempat lama vakum. Lagu ‘Ruang Lain’, ‘Lelah Langkahku’, hingga ‘Hujan di Hatiku’ mengalir seperti mesin waktu, membawa penonton kembali ke awal 2000-an.
“Ini panggung yang sudah lama kami nantikan. Solo City Jazz adalah rumah, dan comeback kami seperti pulang,” ungkap Ipul, sang frontman, penuh emosional.
Tak hanya sekadar nostalgia, UTARA menyajikan aransemen baru dari lagu-lagu lama mereka, pertanda keseriusan kembali meramaikan industri musik tanah air.

Selepas UTARA, giliran Aditya Ong Quartet tampil. Quartet ini dianggap sebagai representasi generasi muda jazz Solo, mengusung semangat eksplorasi lewat komposisi ‘Love, Live and Hope’, ‘East, West, CNY Night’, hingga ‘Think, Re-Think, Action’.
Permainan piano Aditya berpadu apik dengan energi para personil, menciptakan suasana yang segar, intens, sekaligus elegan. Malam itu, mereka bukan hanya tampil sebagai band pembuka, tetapi juga mengiringi Sandhy Sondoro yang naik panggung selepas Magrib.

Sorakan penonton pecah saat Sandhy Sondoro muncul. Dengan suara khasnya yang soulful, ia membuka dengan ‘Anak Jalanan’, lalu melanjutkan dengan ‘Dariku Untukmu’ dan ‘In The Heat of The Bali Sun’.
Penonton yang makin memadati venue larut dalam alunan ‘You’re The Inspiration’, ‘End of The Rainbow’, hingga ‘Tak Pernah Padam’. Sandhy menutup setlistnya dengan ‘Malam Biru’, yang disambut koor ribuan penonton.
“Saya selalu senang tampil di Solo, karena penontonnya hangat dan dekat dengan musik,” ujar Sandhy di sela penampilannya.

Jazz Solo tak bisa dilepaskan dari musisi seniornya. Malam itu, Pung n Friends – Ing Jazz Triwindu hadir sebagai local pride. Membawakan ‘I’ve Got You Under My Skin’, ‘Dari Mana Datangnya Asmara’, hingga ‘So Nice’, mereka menghadirkan nuansa klasik yang menghangatkan suasana.

Momen spesial terjadi ketika mereka mengiringi Astrid Widayani, Wakil Walikota Solo, yang membawakan ‘Don’t Know Why’ milik Norah Jones. Sorakan dan tepuk tangan penonton menegaskan kebanggaan Solo pada talenta musiknya sendiri.

Panggung semakin hidup saat kelompok Pilipe (Komunitas Jazz Pinggir Kali Pepe) menghadirkan pianis kawakan Sukat Puspaningrat. Dua nomor instrumental, ‘Armando’s Rhumba’ dan ‘Del Sasser’, membuka jalan bagi legenda hidup jazz Indonesia, Margie Segers.

Margie memikat dengan ‘Fly Me To The Moon’ yang diaransemen ulang, lalu ‘Kesepian’, ‘Stormy Monday’, hingga ‘Kata Hati’. Ketika ia turun menyapa penonton, suasana meledak dalam tepuk tangan dan teriakan apresiatif.

Setelah nostalgia, giliran Float yang membakar malam. Band pop-rock yang lahir dari skena indie ini menghadirkan energi baru dengan ‘Time’, ‘I.H.I’, ‘No Dream Land’, ‘Emily’, hingga ‘Sementara’.

Suara khas Hotma “Meng” Roni Simamora berpadu dengan permainan David Q Lintang (gitar), Timur Segara (drum), dan Binsar Tobing (bass), membuat penonton ikut bernyanyi dalam euforia. Float seakan membuka jalur menuju klimaks festival malam itu.

Momen paling ditunggu datang saat Efek Rumah Kaca (ERK) naik ke panggung. Sebagai band indie papan atas, kehadiran mereka memang jadi magnet utama.

Mereka membuka dengan Kamar Gelap, lalu mengalir ke ‘Rahim Ibu, ‘Putih, ‘Lagu Kesepian’, hingga ‘Desember’. Setiap lagu seolah membawa penonton ke dimensi lain—penuh noise, pop, rock, sedikit blues, dan bahkan aroma jazz.

Penampilan ditutup dengan ‘Cinta Melulu’, lagu ikonik ERK yang langsung dijawab sing-along ribuan orang. Seakan tak ada yang ingin malam itu berakhir.
Solo City Jazz 2025 menunjukkan bahwa jazz bukan sekadar genre, melainkan ekosistem musik yang lentur—mampu berdialog dengan pop, rock, blues, hingga indie. Dari generasi senior seperti Margie Segers hingga generasi muda seperti Aditya Ong, semua berpadu dalam satu ruang, satu panggung, satu kota.
“Solo semakin jazzy. Semoga ini jadi energi yang terus mengalir, bukan hanya untuk musik, tapi juga kehidupan warganya,” ujar penyelenggara di akhir acara.
Dan benar saja, jazz malam itu tak hanya terdengar di panggung. Ia ikut bersemayam di hati penonton, mengalir dalam udara Solo, dan meninggalkan jejak memori yang akan terus dikenang.
Sampai jumpa di Solo City Jazz 2026—dengan harmoni baru, rasa baru, dan warna baru.
