
LewatLensa.com – Hari Sabtu, 12 Agustus lalu, Paduan Suara Catholic Fellowship (CFJ) mempersembahkan konser amal “Carry The Light” di Ciputra Artpreneur dengan tujuan menggalang dana untuk memberikan akses pendidikan inklusif kepada anak-anak terpinggirkan di Jakarta, Purwodadi, Maumere, Sumba dan Kalimantan. Konser ini menampilkan berbagai lagu tradisional dari berbagai propinsi serta musik Broadway dan Pop. Para penampil bukan hanya dari CFJ tapi juga anak-anak dari Panti Asuhan Griya Asih, Ambiente Choir dan Rumah Hati Suci. Selain itu mereka menampilkan bintang tamu pianis & komponis terkemuka Ananda Sukarlan yang membawa pesan khusus memperkuat misi kemanusiaan dari konser ini, antara lain menampilkan pertunjukan perdana dari karya barunya, “Invictus” dan Rapsodia Nusantara no. 39. Selain itu, CFJ juga menampilkan para solois terkuatnya, yaitu soprano Ratnaganadi Paramita dan pianis Winny Gracia.
Invictus (dari bahasa Latin yang berarti “tak terkalahkan”) adalah puisi yang ditulis oleh William Ernest Henley tahun 1875 tapi baru diterbitkan 13 tahun kemudian. Puisi ini mengekspresikan ketabahan, keberanian, dan penolakan untuk menerima kekalahan saat sang penyair menjalani ujian yang berat di rumah sakit. Sang penyair mengidap tuberkulosis tulang di masa mudanya, dan salah satu kakinya diamputasi di usia dua puluhan dan suatu saat dikhawatirkan dia harus kehilangan kakinya yang lain. Ditulis pada tahun 1875, tetapi tidak diterbitkan sampai tiga belas tahun kemudian, ‘Invictus’ langsung menjadi puisi yang populer. Kualitasnya yang membangkitkan semangat dan motivasi hidup membuatnya sering muncul dalam antologi puisi, dan sering dihafalkan dan dibacakan di berbagai sekolah di Eropa hingga tahun 1960-an. Perhatikan bagaimana ayat pertama mengadopsi posisi humanis. Referensi kekekuatan yang lebih tinggi di tengah penderitaan dalam ketidakjelasan masa depan – ‘whatever gods may be’ (apa pun dewa itu) – sementara fokusnya adalah pada ‘jiwanya yang tak terkalahkan’. Pernyataan yang karismatik ‘My head is bloody, but unbowed’ (Kepalaku berdarah, tapi tak tertunduk) menunjukkan keberanian mulia dalam menghadapi kesulitan, sementara dua baris terakhir yang lebih sering dikutip menegaskan kekuatan individu untuk membentuk nasib mereka sendiri, untuk menerima tanggung jawab dan untuk memilih bagaimana mereka. akan maju dalam hidup.

Apakah nada puisi tersebut melodramatis atau deklamatoris yang inspiratif? Ananda Sukarlan telah menciptakan interpretasi musikal yang dalam, bukan sekedar “musikalisasi” yang sering dilakukan oleh para penyanyi lagu pop. Ia mendefinisikan karakter dari tiap bait puisi tersebut, dan ini penting untuk lebih memahami makna puisi tersebut lebih mendalam. Untuk menyanyikannya, sekedar teknik vokal tidaklah cukup. Soprano Ratnaganadi Paramita memiliki intelektualitas dan musikalitas yang mumpuni untuk membawakan karya yang secara teknik vokal cukup menantang ini. Dalam skala yang lebih besar, ini penting bagi Indonesia untuk menunjukkan keterlibatan kita dalam literasi internasional, karena ‘Invictus’ adalah salah satu tonggak sejarah dunia puisi dan mengangkat Henley sebagai tokoh sastra Victorian yang signifikan, bahkan popularitas fenomenal dari puisi yang satu ini mungkin menyebabkan pengabaian karyanya yang lain yang sama kuatnya secara artistik.
Selama di rumah sakit dalam masa pemulihan setelah amputasi kakinya, Henley menghasilkan serangkaian puisi yang merekam pengamatan dan perasaannya dalam berbagai bentuk puisi dan menggunakan berbagai teknik dan jadinya malah jadi “kalah pamor” oleh ‘Invictus’ setelah menjadi sangat terkenal karena dibikin film box office Hollywood yang dibintangi Morgan Freeman.
Yang juga ditampilkan di konser CFJ yang tiketnya sejumlah 1000 lebih habis terjual ini adalah 2 nomor piano solo Rapsodia Nusantara karya Ananda Sukarlan yang sangat virtuosik. Setiap nomor didasari oleh musik rakyat dari satu provinsi di Indonesia. Rapsodia Nusantara yang kini berjumlah 39 telah dimainkan oleh ratusan pianis di seluruh dunia. Banyak sekali tesis dan disertasi yang telah diterbitkan secara online oleh para mahasiswa S1, S2 dan S3 dari berbagai universitas di seluruh dunia tentang Rapsodia Nusantara. Di konser ini, Rapsodia Nusantara no. 3 yang mengambil tema dari lagu-lagu Maluku Rasa Sayange dan Sarinande dan dikembangkan dengan canggih ditampilkan dengan baik oleh Winny Gracia. Ananda Sukarlan sendiri memainkan untuk pertama kalinya Rapsodia Nusantara no. 39. Istimewanya, no. 39 ini memang didesain untuk dimainkan dengan tangan kiri saja. Tujuannya untuk memberi material untuk konser kepada pianis disabilitas yang hanya berfungsi tangan kirinya saja. Tujuan Ananda yang disampaikannya sebelum memainkannya, yaitu “kalau anda mendengarnya dengan mata tertutup, anda tidak akan sadar bahwa ini hanya dimainkan dengan satu tangan saja” memang benar-benar tercapai. Cukup mencengangkan bahwa musik yang begitu virtuosik dimainkan dengan 5 jari di satu tangan saja!
Rapsodia Nusantara no. 39 adalah kontribusi yang signifikan untuk dunia disabilitas dan keterlibatannya di dunia musik dan seni pada umumnya. CFJ dengan konser “Carry the Light” telah memfasilitasi hal ini yang menjadi tonggak sejarah dalam andil Indonesia di dunia seni musik. Sebuah konser yang kharismatik, menginspirasi dan secara nyata berguna untuk membuka mata dan mencerdaskan tanpa menggurui.

Konser ini juga dilengkapi dengan Tari Saman (Aceh) oleh anak-anak Griya Asih serta penampilan Veronica Windy (Puteri Indonesia Berbakat 2023). Acungan jempol juga patut ditujukan kepada tata artistik, kekompakan dan keharmonisan paduan suara, koreografer William Kusuma dan orkestrator Cosmas Atmadja serta solois lain Angelia Darma, Monica Halim, Bernadus Wijaya dan Ghania Harsono.
Semua nomor di konser ini dipimpin oleh dirigen Fransiska Darmawan yang berhasil menciptakan nuansa yang indah, inspiratif dan tentu menghibur
Sumber Naskah : Buku Program Konser Carry the Light